"TIDAK ada lagi kekuasaan. Tidak ada lagi jago-jagoan. Kini semua hidup ini untuk Tuhan yang masih membiarkan saya hidup dan bertobat."
Laporan : Mahatir Mahbub
Mamajang
KALIMAT di atas terlontar dari mulut seorang mantan narapidana. Usianya kini sudah 63 tahun. Namun, badan kekarnya yang dipenuhi tato membuat orang tetap ragu untuk bertemu dengan dirinya. Apalagi perawakannya masih terlihat garang.
Saat saya mencoba menemuinya di Panti Asuhan Murni, di Jalan Singa, semua tiba-tiba berubah. Kesopanannya menjamu tidak segarang wajahnya yang hitam. Namanya Dominggus Bussu. Laki-laki asal Ambon. Orang-orang di sekitar memanggilnya Om Bussu. Di bekerja di Panti Asuhan Murni.
Sepuluh tahun lalu, Dominggus Bussu baru menghirup udara bebas setelah tahun 1982 divonis 20 tahun penjara. Kasus yang membuatnya terkurung tidak main-main, yakni dengan menghabisi nyawa orang-orang yang dianggap bersebarangan dengan kelompoknya. Jumlah nyawa yang dihabisinya pun sudah ia lupa. "Tidak sampai 100 orang. Tapi bisa jadi lebih dari lima puluhan nyawa," kata Bussu, Selasa, 18 November.
Dominggus Bussu, lahir di Porto, Ambon, 7 Februari 1945. Usia remajanya dihabiskan penuh di Porto. Perang antarkampung yang tak kunjung padam membentuk jiwanya penuh kekerasan.
Dirinya sempat menolak untuk melanjutkan bercerita tentang masa lalunya. Namun setelah saya setengah membujuk, akhirnya dia mau mengupas sisi kelam itu. "Tidak adami Om Bussu yang dulu orang kenal sebagai pemberontak," ujar dia.
Kenakalannya bermula dari Ambon. Ketika itu, dirinya dikenal kerap memimpin para pemuda di kampungnya untuk menyerang kampung seberang. Tidak ada lagi yang tersisa. Rumah, ternak, kantor desa, sampai puluhan nyawa manusia dibiarkan berhamburan di jalan-jalan desa.
Perang antarkampungpun meluas seiring pencarian polisi terhadap dirinya. Suatu ketika, saat dirinya memutuskan untuk berhenti mencicipi dunia hitam, dia tertangkap. "Saya dituduh memimpin pemuda. Padahal waktu itu, saya lagi melaut dan sudah memutuskan untuk berhenti," katanya.
Keputusan Pengadilan Negeri Ambon yang membawanya ke Lembaga Permasyarakatan Salemba (dulunya Gunung Sari), dianggap Bussu sangat mengecewakan. Dia dituduh otak dari semua pemberontakan pemuda kampung. Apalagi dengan putusan 20 tahun penjara.
"Itu sangat mengecewakan saya. Kenapa tidak dihukum mati saja. Pernah saya mengajukan surat ke Presiden (RI) Soeharto untuk dihukum mati," ungkap Bussu.
Lembaga Pemasyarakatan Salemba adalah penjara kesembilan yang dijamah Bussu. Kasus yang paling banyak melibatkannya adalah pembunuhan. (Bersambung)
Sabtu, 22 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar